Kerajaan Mataram-Islam: Perkembangan Politik

Kerajaan Mataram-Islam: Perkembangan Politik

Pada tahun 1578 Ki Ageng Pamanahan diberi tanah di Plered oleh Jaka Tingkir karena jasa-jasa terhadap Pajang. Wilayah inilah yang kelak dijadikan ibukota Mataram oleh anak Ki Ageng yang bernama Panembahan Senopati (Senapati). Setelah Hadiwijaya wafat, segera Senopati menguasai Pajang pada tahun 1582. Pada tahun itu juga ia mengumumkan berdirinya kerajaan baru di Jawa Tengah, Mataram. Senopati adalah anak angkat sekaligus menantu Hadiwijaya.

Bersama pamannya, Ki Juru Mertani, Senopati menaklukkan Demak, Kadiri, Madiun, Kedu, Bagelen, Surabaya, dan Pasuruan. Setelah menaklukkan Kediri, Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601. Tahta lalu beralih ke puteranya, Mas Jolang.

Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Hanyokrowati. Ia meneruskan perjuangan ayahnya, namun tidak lama. Sewaktu pulang dari pertempuran, pada tahun 1613 Mas Jolang wafat di Desa Krapyak, Jawa Timur. Itulah sebabnya Mas Jolang dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak. Mas Jolang digantikan oleh Raden Rangsang, puteranya, yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pada masa Sultan Agung, Mataram berhasil menaklukkan Surabaya dan Blambangan hingga kekuasaan Mataram meliputi sebagian Jawa Barat (kecuali Banten dan Batavia), seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping Jawa, Mataram pun menguasai Madura, Sukadana di Kalimantan Barat, serta Palembang.

Pada tahun 1613-1645, Sultan Agung membawa Mataram ke masa kejayaannya. Pada masa Sultan Agung, Mataram menghadapi dua lawan yang besar, yaitu pasukan Kerajaan Banten dan tentara VOC di Jayakarta (Batavia) yang bercita-cita memonopoli perdagangan. Mataram pernah dua kali melakukan serangan ke benteng VOC di Jayakarta, yaitu pada 1628 dan 1629. Kedua serangan itu gagal karena kekurangsiapan logistik tentara selama pertempuran.

Setelah Sultan Agung wafat tahun 1646, tahta Mataram diduduki Susuhunan Amangkurat I. Ia memindahkan pusat kerajaan ke Plered setahun berikutnya. Berbeda dengan ayahnya, Amangkurat I bersikap lunak dan cenderung berkompromi dengan VOC. Ia mengizinkan serikat dagang Belanda itu mendirikan benteng di Mataram. Karena tidak setuju atas kebijakan Amangkurat I dan kesewenangan VOC, meletuslah pemberontakan Pangeran Trunojoyo (Trunajaya). Pada 1667, pasukan Trunojoyo menyerang istana Plered. Pemberontakan itu berhasil dipadamkan dengan bantuan VOC, meski Amangkurat terluka dan wafat.

Amangkurat I lalu digantikan oleh anaknya, Amangkurat II. Amangkurat II memerintah dari tahun 1667 hingga 1703. Semasa pemerintahan Amangkurat II, Mataram mengalami kemunduran. Daerah-daearah kekuasaannya banyak yang dikuasai VOC. Bahkan pusat pemerintahan Mataram terpaksa pindah ke Kartasura. Yang menjadi Sultan selanjutnya adalah Amangkurat III. Pada tahun 1704, Pangeran Puger, paman Amangkurat III, didaulat oleh VOC sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Tak senang atas pengangkatan pamannya ini, Amangkurat III bekerja sama dengan Untung Surapati, melawan VOC dan melakukan serangan gerilya.

Karena persenjataan yang tak seimbang, akhirnya Amangkurat III harus mengakui kemenangan VOC pada tahun 1708. Pada tahun 1719, Paku Buwono I meninggal dunia dan digantikan oleh Amangkurat IV. Amangkurat IV hanya memerintah selama 7 tahun. Pada tahun 1726 ia wafat, digantikan oleh Paku Buwono II.

Pada masa Paku Buwono ini, terjadi kekisruhan yang dilakukan Sunan Kuning, cucu Amangkurat III. Sunan Kuning menyimpan dendam terhadap keturunan Paku Buwono. Istana Kartasura direbut oleh Sunan Kuning pada tahun 1742. Namun, setahun kemudian istana Kartasura dapat direbut kembali oleh pasukan Cakra Ningrat IV, raja Madura, yang bekerjasama dengan VOC. Sunan Kuning pun menyerah, dan Paku Buwono II diangkat kembali menjadi sultan. Tahun 1746, Paku Buwono II memindahkan pusat pemerintahan ke istana baru di Plered. Perubahan besar terjadi di Mataram pada tahun 1755. Atas campur tangan VOC, Mataram dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta di Solo. Pemisahan daerah ini tercatat dalam Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini berawal dari kekecewaan Pangeran Mangkubumi kepada Paku Buwono II yang sebelumnya berjanji memberikan hadiah tanah beserta 3.000 warga kepada Mangkubumi atas keberhasilannya memadamkan sebuah pemberontakan. Namun, Paku Buwono II mengingkari janjinya. Malah sebuah daerah pesisir diserahkannya kepada VOC.

Mangkubumi menganggap Paku Buwono II melanggar etika dan sopan-santun Jawa. Paku Buwono II dinilai tidak bermusyawarah dulu dengannya menyangkut keputusan sepihak tersebut. Merasa tersinggung, Mangkubumi kemudian bergabung bersama Raden Mas Said untuk melancarkan pemberontakan kepada Mataram pada Mei 1746. Pemberontakan ini berlangsung cukup lama. Mas Said pun mendapatkan gelar baru, Pangeran Samber Nyawa, karena ia sangat lihai dalam mematahkan perlawanan lawan.

Baru, pada tahun 1755 pemberontakan berakhir, setelah Paku Buwono II meninggal dunia dan Perjanjian Giyanti dibuat. Atas persetujuan VOC, Kesultanan Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) diperintah oleh Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. Sementara, Kasunanan Surakarta diperintah oleh Susuhunan Paku Buwono III, anak Paku Buwono II. Sementara itu, Mas Said merasa diliciki oleh Hamengku Buwono I yang seakan-akan lupa akan bantuannya dulu ketika memerangi Paku Buwono II. Oleh karena itu, pemberontakan pun meletus untuk kedua kalinya di Jawa Tengah. Kali ini pasukan Mas Said harus berhadapan dengan tiga kekuatan, yaitu

pasukan Yogyakarta, Surakarta, serta VOC. Namun, berkat kelihaian taktik Mas Said, pasukan gabungan tersebut tak mampu mengalahkannya. Mas Said bahkan berhasil membakar istana baru di Yogyakarta, setahun setelah Perjanjian Giyanti.

Namun, karena jumlah pasukan yang tak seimbang, laskar Mas Said pun kewalahan. Akhirnya, ia rela berunding dan menyerahkan diri kepada Paku Buwono II tahun 1757. Melalui Perjanjian Salatiga, Kasunanan Surakarta dibagi lagi menjadi dua wilayah, yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara.

Pangeran Samber Nyawa kemudian mengucapkan ikrar setia kepada Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Sebagai imbalannya, ia diberikan tanah berikut 4.000 orang warga. Ia pun menjadi adipati di wilayah Mangkunegaran dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegara.

Pada Desember 1810, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman William Daendels, bersama 3.200 pasukannya memaksa Hamengku Buwono II turun sebagai sultan Yogyakarta. Kemudian, Daendels mengangkat puteranya, Hamengku Buwono III menjadi sultan. Namun, baru menjadi sultan setahun, Hindia Belanda (Indonesia) dikuasai Inggris sebagai akibat dari penaklukan Belanda oleh Inggris.

Melihat kesempatan ini, Hamengku Buwono II mengambil alih kekuasaan kembali dari anaknya. Namun, pada Juni 1812 sekitar 1.200 prajurit Ingris yang dibantu prajurit Sepoy dari India dan 800 prajurit dari Legiun Mangkunegaran, berhasil merebut istana Yogyakarta. Perpustakaan, arsip, dan sejumlah besar uang Kasultanan Yogyakarta habis dirampas pihak lawan. Hamengku Buwono II pun, sekali lagi, turun tahta, dan dibuang ke Penang, Malaysia. Anaknya, Hamengku Buwono III naik tahta kembali.

Adapun Pangeran Natakusuma, yang membantu Inggris dalam perang tersebut, diberi tanah merdeka serta 4.000 warga di Yogyakarta. Natakusuma kemudian bergelar Pangeran Pakualam I dan memerintah di Kasunanan Pakualam di Yogyakarta. Selama itu, otomatis yang membuat kebijakan di istana Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran adalah Belanda. Baru pada bulan September 1945, Sultan Hamengku Buwono menyatakan kepada pemerintahan Soekarno-Hatta bahwa Kasultanan Yogyakarta termasuk bagian dari Republik Indonesia. Langkah ini diikuti oleh istana Surakarta.